salaamun lakum

ahlan wasahlan

Kamis, 03 Februari 2011

Kenapa ?
Fakka fakra


Bruakkk ….!!!
Suatu benda berwarna biru dengan garis putih di ujungnya, melayang membentur almari coklat tua yang tak bersalah itu. Gelas plastik tua yang diberikan temannya, telah menjadi bahan pelampiasan hatinya yang telah tertindih oleh batu.
“Mana …???”
“Dimana Tuhan …???”
“Dimana …???”
“Aku nggak percaya … kalau Tuhan itu ada …” disambarnya botol aqua yang mampu menampung 1,5 lt air itu. Dia jadikan bahan pelampiasan kedua amarah hatinya.
“Aku nggak percaya lagi …, aku nggak percaya …”
Di malam gelap pekat dengan suara yang tidak bergema, dia terus marah, mengamuk. Semua benda yang berada di dekatnya terus dia sambar tuk jadikan bahan pelampiasannya. Dia tidak peduli entah akan melayang kemana benda-benda yang hanya diam membisu tanpa bisa melontarkan protes  sedikitpun.
Kini kamar yang berukuran 7 x 7 meter itu hanya diselimuti jeritan-jeritan menusuk jiwa. Dia terus menjerit, memberontak, dan melampiaskan amarah dalam jiwanya. Orang-orang yang berada di sekelilingnya hanya dapat melihat dengan iba kejadian itu. Karena mereka takut dan tidak mampu untuk meredakan amarahnya.
Praaaang …!!!
Sebuah piring kaca berwarna putih dengan corak-corak bunga  mawar merah di tepinya pecah berkeping-keping berhamburan di lantai keramik berwarna hijau muda.
“Aku benci hidup ...”
“Aku benci …”
Amarahnya kini semakin menjadi-jadi, ditembusnya kerumunan orang-orang yang sedang menyaksikan dirinya. Dia keluar melalui pintu kamar yang berada di ujung selatan. Dia berlari menuruni tangga sambil terus menjerit-jerit bagai orang yang sudah tak berakal lagi. Dia terus berlari tanpa mempedulikan orang-orang yang mengikuti langkah kakinya. Hingga tubuhnya menghilang di telan kegelapan malam, setelah melewati pintu gerbang tua berwarna hijau tua yang terbuat dari kayu jati, dengan ukiran-ukiran yang masih asli karta tangan orang-orang terdahulu.
*          *          *
Senja telah menoreh di ufuk barat. Kegelapan malam merenggut paksa keelokan senja. Warna oranye mulai memudarkan diri diiringi warna hitam kebiru-biruan. Orang-orang mulai berbondong – bondong menuju surga dunia mereka masing – masing. Hewan – hewan terpaksa kembali ke tempat persemayaman mereka.
Seorang ibu muda berpakaian serba putih, diikuti kerudung putih yang tampak serasai dengan warna kulitnya, memasuki ruangan yang bertuliskan apik di atas pintunya “GHURFATUDH DHIYAAFAH”. Tidak lama kemudian, datang seorang bocah yang masih berumur 15 tahunan dengan mengenakan baju muslim biru muda yang nampak serasi dengan sarung biru tua yang dia kenakan. Tidak lupa peci putihpun selalu bersarang di atas kepalanya.
“Nak !!! Apa kamu sudah krasan disini ?”
Wach …!!! Sudah buk, malahan saya nggak mau pindah.”
“Tapi nak …” ibu itu menghentikan ucapannya.
“Tapi apa buk ???” tanyanya penasaran
“Terpaksa kamu harus pindah dari sini.”
“Tapi kenapa …???” tanya bocah itu sedikit meninggikan suaranya.
“Ibu terpaksa memindahkanmu, karena orang yang membiayaimu juga akan pindah dari kota ini.” Jawab ibu itu dengan mata yang  mulai  berkaca – kaca.
“Apa ibu nggak bisa membiayai sekolahku ?”
“Ibu nggak bisa, ibumu ini hanya seorang tukang cuci, uang hasilnya itu hanya cukup untuk makan ibu sehari-hari, Nak …!!! Kamu itu satu-satunya bintang ibu yang bersinar. Kamu adalah harapan ibu. Ibu ingin melihat kamu sukses nak” Terang ibu itu panjang lebar dengan air mata yang mulai menetes di pipi lembutnya.
“Trus, dimana Bapak ? Dimana buk ? Dimana ?” tanya anak itu sambil menggoyang-goyangkan tubuh ibunya.
“Sssttt ….!!! Diam nak !!! Jangan pernah kau sebut-sebut lagi bapakmu ! Ibu sudah tidak ingin mendengarnya lagi. Ibumu ini hanya istri ke delapan belasnya yang tidak terurus,” Gertak ibu itu dengan meningkupkan telapak tangan kanannya tepat di mulut bocah itu.
“Tapi buk, …” ujar bocah itu sambil berusaha melepaskan sekapan tangan ibuny dimulut mungilnya.
“Sudahlah nak …!!!” ikhlaskan saja, Insya Allah semua ini pasti ada hikmahnya. Hanya satu harapan ibu dari kamu. Ibu hanya ingin kau buatkan untukku masjid 6 menara.”
*          *          *
Hech ….!!! Sudah, sudah kalian ini berantem terus kerjaannya.” Lerai orang yang bertubuh jangkung itu kepada kedua anak yang sedang sibuk dalam perkelahian mereka.
“Dia duluan akh.” Diikuti jari telunjuknya yang tanpa berdosa mengarah pada lawan perkelahian yang berada di depannya.
“Bukan aku akh, tapi dia,” sangga anak yang lain tidak mau kalah.
“Ya sudah ! sekarang kalian berdua ikut aku ke kantor pengasuhan. Kalian bisa berdebat sepuasnya disana. Ayo ! Cepat !!!”
Laki-laki yang mempunyai tubuh jangkung, yang selalu menenakkan kaos oblong ukuran tanggung hingga memperlihatkan postur tubuhnya yang ideal. Tatapan mata yang tajam yang dilengkapi potongan rambutnya yang selalu dipotong seperti komandan tentara, menambah penampilannya hingga terlihat  sangar dan maco. Laki-laki yang tidak lain adalah bagian keamanan itu membawa kedua anak yang terlibat dalam perkelahian ke kantor pengasuhan.
“Bid …!! Kamu membuat masalah lagi ?” tanya laki-laki yang baru keluar dari dalam kantor pengasuhan.
“Bukan saya yang mulai tad, tapi dia.”
“Bukan tad, dia duluan.”
“Sudah, sudah !!! Sekarang kamu Ilham apa yang terjadi sebenarnya ?” tanya laki-laki berkumis dan berjenggot tipis kepada salah satu dari kedua anak itu.
“Begini tad, awalnya tadi dia ngejek saya, otomatis saya tidak terima, ya …. sudah saya pukul saja dia, eh dianya juga mbalas mukul saya.” Terang Ilham santai, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
“Benar begitu Bid ?” tanya Ustadz yang mempunyai paras killer itu.
“I … I … iya, tad.”
“Hmm …, berarti ini untuk kesekian kalinya kamu membuat masalah. Baik …!!! Sekarang Ilham dan kamu Haikal bisa kembali ke kamar kalian masing-masing. Oh ya … Kal !!! Kerjamu sebagai keamanan sudah bertambah baik. Tapi lebih baik tingkatkan lagi !”
Na’am ustadz !!! Sami’tu wa atho’tu.”
Kini ustadz yang tidak lain bernama Ust. Danu itu hanya berdua dengan anak yang bermasalah tadi di dalam kantor pengasuhan.
“Bid, kamu sadarkan atas apa yang kamu lakukan selama ini ? Kamu itu sudah sering membuat pelanggaran. Dulu kamu sering banget sakit-sakitan, satu bulan yang lalu kamu sering mbolos dari Madrasah, baru saja kemarin kamu memecahkan kaligrafi di masjid, eh … sekarang sudah menambah satu masalah lagi. Ada apa sech kamu ? apa kamu punya masalah ?”
“Ti … dak, tad. Ti … dak ada.” Jawabnya gugup.
“Kalau ustadz perhatikan sejak kami pindah ke sini, awalnya kamu baik-baik saja, malahan kamu sering ikut ekschool dan rajin ke Madrasah. Kamu juga taat dengan peraturan-peraturan di pondok. Tapi … kenapa kamu sekarang begitu beda 180o ? Ceritakan sama ustadz kalau kamu ada masalah ! Jangan disimpan sendiri!!”
“Tidak, tad. Saya tidak ada masalah apapun, benar tad.” Jawabnya sudah agak tenang.
“Baiklah kalau begitu, sekarang agar kamu tidak mengulangi perbuatanmu lagi, kamu ustadz hukum membersihkan WC 5 hari.”
“5 hari tad ?”
“Iya kenapa ??? Keberatan ???”
“Tidak tad.”
*          *          *
Malam ….
Indah ditemani sang bulan. Cantik diiringi serpihan bintang. Manis diayuni udara yang menusuk sampai ke pori-pori jiwa. Merdu dihayuti suara hewan malam. Tapi …!!! Semua itu bagaikan sirna hilang, lenyap ditelan kejadian pahit di malam yang kelam itu.
Tok … tok … tok ….
“Assalamu’alaikum tad !!!”
“Assalamu’alaikum …!” Haikal mengulangi salamnya karna takut orang yang berada di dalam kamar tidak keluar.
“Wa’alaikum salam …! Ada apa tho ? Kamu ini mbangunkan ustadz malam-malam begini ??”
“Gawat tad !!! Gawat !!!” Jawab laki-laki yang masih berumur delapan belasan tahun itu dengan nafas yang masih terengah-engah.
“Gawat kenapa ?” tanya Ust. Danu penasaran
“Aa … a … bid, tad. Aa … bid ka … ka … bur lagi dari pon … dok lewat ger … ger … bang utama. Tap … po sebelumnya dia sempat marah-ma … rah menyalahkan Tuhan dan meng … mengamuk di kamar. Semua barang-barang dia rusak. Semua dilempar olehnya. Saya dan teman-teman sendiri tidak sanggup menenangkannya.” Jawab Haikal sedikit terbata-bata.
“Ap … pa …!!! Abid kabur lagi … ada apa sech sebetulnya dengan anak itu ?!!”
“Saya juga nggak tau, tad. Sepertinya dia punya masalah besar.”
“Ya sudah …!!! Nanti kamu coba tanya empat mata dengannya. Coba kamu tanya baik-baik problemnya. Masalanya kemaren waktu aku sendiri yang tanya, dia tidak mau njawab.”
“Ya tad, … Insya Allah.”
“Oh ya … sekarang kamu ikut ustadz, kita cari Abid bersama-sama.”
Na’am tad.
*          *          *
Anak itu kini mengasingkan dirinya di salah satu sudut kamarnya. Dia terduduk dengan mata yang masih mengucurkan air mata kepedihan jiwa. Tangannya masih menggigil melingkar memeluk kedua lututnya. Rambutnya acak-acakan menandakan dirinya sudah tidak mandi beberapa hari. Pakaian yang sudah kecoklat-coklatan tidak lepas dari dirinya.
Sepi, yach kata itulah yang tepat untuk menggambarkan keadaan kamar yang dia tempati sekarang. Hanya isah tangisnyalah yang menghiasi tempat itu. Suara gaduh kicauan teman-temannya yang setiap hari menyelimuti kamar itu, kini tidak menampakkan wujudnya. Karena kesibukan di kelas sedang bergelut dengan mereka.
Kreeeck …!!!
Pintu kamar yang bercat hijau tua itu dibuka oleh laki-laki yang tidak lain adalah pengurus yang paling ditakuti anggota.
“Bid, kamu masih disitu ?”
Akan tetapi tidak ada satupun jawaban dari kamar itu. Hanya senduhan tangis yang sangat miris terdengar di telinganya.
“Bid, apa kamu punya masalah ?” tanya Haikal pelan sambil mendekati sesosok anak laki-laki yang meringkukkan dirinya di salah satu sudut kamar.
Tetap saja tidak ada jawaban apapun dari sosok itu.
“Apa kamu tidak krasan disini ? Cerita donk sama Akh, Insya Allah Akh bantu semampu apa yang Akh bisa. Akh janji, Akh akan merahasiakan hal ini.”
Tetapi tetap saja anak itu tidak mau mengangkat suara, hanya isak tangisnya yang terdengar paruh.
“Manusia itu tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendirian, pasti dia butuh akan seseorang untuk menampung ceritanya serta membantu memecahkan masalahnya. Seperti halnya kamu Bid, kamu nggak akan bisa memendam masalahnya di dalam hati, mesti hatimu memaksamu untuk mengeluarkan curahannya. Maka dari itu manfaat Akh disini sebagai pengurus untuk menampung keluh kesah dari anggota-anggotanya. Kamu coba cerita donk sama Akh apa masalahmu.”
“Tapi Akh janji yach nggak akan bilang-bilang ke yang lain.” Jawab Abid dengan suara yang masih tersedu-sedu. Akhirnya Abid mulai mau untuk mengangkat suara.
Yach, Akh janji.”
“Dulu sebelum masuk pondok ini, aku juga sempat mondok di kota asalku. Tapi kemudian disebabkan karena orang yang membiayai aku akan pindak kota, maka terpaksa aku harus pindah pondok juga.”
“Orang yang membiayai kamu ? Memang bukan orang tuamu ?”
“Bukan Akh, tapi orang lain, aku juga tidak tahu namanya. Bahkan aku belum tau wajahnya seperti apa. Sudah Akh nggak usah mbahas itu lagi, aku sudah bosan membahas masalah itu. Em … ketika aku mondok di pondokku dulu berbeda jauh dengan disini. Disana orangnya baik-baik sama aku. Mereka selalu perhatian sama aku, walaupun aku dari kalangan orang yang tidak mampu, tetapi disini beda … beda banget, aku sering diejekin disini. Mereka selalu membeda-bedakan teman. Aku benci Akh … aku benci …”
Yach, Akh ngerti, tapi … kenapa kemaren kamu mengamuk menyalahkan Allah ??”
“Karna aku juga benci sama Allah. Aku … benci … “ Jawab Abid dengan suara yang mulai meninggi.
“Astaghfirullahal ‘adhim …!!! Kenapa kamu benci sama Allah ?”
“Karena Allah selalu tidak adil dengan aku. Kenapa selalu aku yang tidak bisa ? Kenapa selalu aku yang lemah ? Kenapa tidak yang lain saja ?” Jawab Abid dengan air mata yang mulai mengucur deras membasahi pipinya.
“Maksudmu ?” tanya Haikal bingung.
“Kenapa mereka yang menghina aku selalu yang menjadi juara ? Kenapa mereka yang selalu terpilih ? Kenapa mereka yang selalu menang ? Kenapa ? Padahal aku sudah berusaha, aku sudah berusaha Akh, sudah … aku sudah bekerja keras, sudah aku tumpahkan semua kemampuanku. Tapi aku … aku … selalu tidak bisa Akh, tidak bisa … aku ingin … sekali membahagiakan ibuku. Ibuku selalu sakit-sakitan di rumah, dulu selalu disiksa ayahku sebelum ayahku pergi meninggalkan kami. Sedangkan pekerjaan ibuku hanya sebagai tukang cuci. Ayahku … sudah tidak aku anggap lagi sebagai ayahku, tidak lagi. Karena dia menelantarkan kami berdua. Aku ingin … sekali membahagiakan ibuku, ingin sekali … tapi aku selalu tidak bisa Akh, tidak bisa.”
“Begini, Bid ! Kamu tidak boleh menyalahkan siapapun, apalagi Allah. Karena setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Dan semua itu adalah nikmat dari-Nya. Kamu tidak boleh mengkufurinya, karena “La in syakartum la aziidannakum wa la in kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid.” Apa kamu mau di azab oleh Allah ? Nggak maukan. Makanya jangan kau kufuri itu semua.”
Abidpun terdiam tanpa kata-kata untuk beberapa menit. Dia mengulangi lagi dalam memori otaknya apa yang barusan dikatakan oleh kakak pengurusnya itu. Dia mencoba mengoreksi apa yang salah dalam dirinya dan apa yang benar dari perkataan kakak kelasnya itu. Abidpun terhentak ada secercah cahaya dalam hatinya yang kini menghinggapi otaknya. Hingga akhirnya dia mau membuka mulutnya.
Iyach Akh aku sadar, aku mau bertobat kepada Allah dan berubah.” Ujar Abid sedikit menundukkan kepalanya.
“Trus … kalo kamu ingin membahagiakan ibumu, kamu bisa kok melakukan itu. Siapa bilang kamu tidak bisa. Mungkin kamu sekarang hanya belum bisa saja, tapi kita lihat besok atau lusa, kamu akan jadi orang pertama yang membangun menara tertinggi di dunia. Akh yakin itu, asalkan kamu mau berusaha dan tidak mudah putus asa. Man jadda wajada.”
“Iya Akh … aku akan terus berusaha dan tidak mudah putus asa. Sukron Akh motivasinya. Aku berjanji akan mewujudkan cita-cita ibuku untuk membuatkannya masjid 6 menara.” Ucap Abid dengan semangat tinggi bagaikan  Bung Tomo dalam memimpin perang melawan Belanda. Kini airmyanya telah berhenti mengalir di sela belai semangatnya.
“Masjid 6 menara ?”
“Iya Akh, itulah cita-cita ibuku yang harus aku wujudkan.” Jawab Abid dengan senyum lebar yang melekat di wajahnya.
*          *          *
Selamat datang pagi ….
Apa kabarmu hari ini …
Pagi bersinar cerah secerah senyuman anak itu dalam menggapai rona surga impiannya. Seindah hatinya yang sedang  melayang hingga ke langit tujuh.
“Bid … Abid … bid … kamu tau nggak Akh mbawa apa pagi ini buat kamu ?” Tanya Haikal dengan raut wajah seperti menyembunyikan sesuatu.
Nggak Akh. Emang apaan tho Akh ? Jangan buat aku penasaran donk!” tanya Abid gemas.
“Tadi pagi-pagi sekali, setelah shalat subuh ada laki-laki tua yang menitipkan surat buat kamu. Setelah Akh baca isinya ternyata di dalam itu ada pasport dan piagam beasiswa sekolah di Amerika. Dan disini juga tertulis atas nama Muhammad Abid Habibullah. Itukan nama kamu.”
“Ke Amerika Akh ?”
“Iya … ke Amerika.”
“Itu semua buat aku Akh ?”
“Iya … semua itu buat kamu.”
Wa in ta’udduu ni’matallahi laa tuhshuuhaa.”
Bersambung……..

*          *